Chingu (Friend) That Called Her Name
Tap...tap...tap...
Suara langkah kaki anak perempuan itu terdengar sangat ringan tapi
hati-hati. Sesekali dia menengok kebelakang untuk memastikan tidak ada seorang
pun yang mengikutinya. Kepalanya terus tertunduk dan rambutnya yang panjang
tergerai menutupi wajahnya. Ketika
langkah kakinya berhenti tepat di depan sebuah pintu rumah, gadis itu terdiam.
Dia menatap pintu itu dalam-dalam. Sebenarnya dalam hatinya dia tidak ingin
kembali ke rumah ini tapi jika tidak kembali kemana lagi dia akan pulang karena
ini rumahnya. Meski tidak bisa di bilang rumah juga.
Perlahan dia mengeluarkan kunci dari saku seragam sekolahnya dan
membuka pintu rumahnya, langkahnya terasa sangat berat untuk melangkah masuk ke
dalam rumah itu karena dia tahu begitu dia masuk maka kehidupan seperti di neraka
akan menghampirinya. Meski diliputi rasa takut gadis itu tetap berusaha
menguatkan dirinya untuk masuk ke dalam rumah.
Buk...
Tubuh anak perempuan itu mendarat dengan keras dilantai. Dia
mencoba bangkit meski seluruh badannya terasa sakit akibat perbuatan ayahnya
yang langsung menyeret dan membantingnya ke lantai begitu dia masuk ke dalam
rumah. Belum puas dengan membantingnya ke lantai anak perempuan itu juga
mendapatkan beberapa pukulan keras di bagian pipi dan perutnya.
“Ampun
ayah...Ampun...Maafkan aku...” rintih anak perempuan itu tapi ayahnya tidak mau
mendengarkan dan terus menyiksanya.
“Dasar Anak Tidak
Berguna.” Umpat ayahnya
“Maaf ayah...maafkan
aku...maafkan aku...” anak perempuan itu hanya bisa memohon maaf saat ayahnya
terus saja memukulinya.
“Dimana Ibu dan kakakmu?
Katakan dimana mereka?”
“Maaf ayah aku tidak
tahu...Maaf-maafkan aku!”
Anak perempuan itu menangis sambil merintih kesakitan, pukulan demi
pukulan terus dia terima dari ayahnya. Bau darah tercium dengan sangat tajam di
hidungnya dan perlahan penglihatannya mulai kabur. Dia terus mendapatkan
siksaan dari ayahnya hingga semua badannya terasa sakit dan dia hampir
kehilangan kesadarannya. Anak perempuan itu hanya bisa berkata ‘maaf’ meski
ayahnya tidak pernah menggubrisnya. Di detik-detik terakhir kesadarannya
samar-samar dia seperti melihat Ibu dan kakaknya datang tapi setelah itu
semuanya berubah menjadi gelap.
Begitu anak
perempuan itu membuka kedua matanya, dia tidak dapat melihat dengan jelas
karena seluruh ruangan itu gelap hanya di terangi oleh sinar rembulan dan
lampu-lampu di luar yang menembus masuk lewat kaca dinding ventilasi dan jendela.
Badannya masih merasakan sakit dan dia juga masih lemas kehabisan tenaga,
dengan susah payah dia bangkit dan menyandarkan tubuhnya di tembok. Nafasnya
berat.
Saat kesadarannya sudah pulih seratus persen anak itu terkejut, dia
mencium bau darah yang sangat menyengat dan saat itu juga dia baru menyadari
kalau banyak sekali darah yang berceceran hampir di seluruh ruangan. Anak itu
langsung dihinggapi rasa takut, badannya gemetaran. Dia sangat takut dan
seketika itu juga dia melihat tubuh Ibunya tergeletak di lantai dengan mata
menatap tajam ke arahnya dan berlumuran darah sementara ayahnya sibuk
menusukkan pisau ke tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa. Dia sangat
ketakutan sampai-sampai suaranya tidak bisa keluar. Dia ingin menjerit tapi
tidak bisa, suaranya seakan tertahan di tenggorokan.
Ayahnya menatap kearahnya, tersenyum lalu bangkit menghampirinya
dengan membawa pisau yang berlumuran darah. Ayahnya mendekat lalu menampar
wajahnya cukup keras.
“Ampun ayah...jangan
lakukan ini...ampun...!” ujar sang anak tapi ayah malah semakin senang melihat
anaknya itu ketakutan.
“Kamu lihat itu...wanita
itu sudah mati...hahaha” sahut ayahnya. Pria itu terlihat sangat senang dan
tidak memiliki penyesalan apa pun.
Dia mendekatkan pisau itu di wajah putrinya berniat untuk melakukan
hal yang sama kepada putrinya tapi untung saja polisi datang dan segera
menyergapnya. Seketika itu juga anak perempuan itu langsung jatuh pingsan.
***
Anak perempuan berusia limabelas tahun itu berdiri sendirian di
samping rumah sakit, dia berdiri seakan sedang menunggu seseorang datang,
kepalanya tertunduk ke bawah dan rambut panjangnya yang terurai menutupi
wajahnya, sesekali dia menekuk salah satu kakinya dan mengetuk-ngetuk tanah
dengan ujung kakinya. Cukup lama dia berdiri disana sampai akhirnya kakaknya
datang menghampirinya.
“Maaf membuatmu menunggu
lama.” Ujar kakaknya.
Anak perempuan itu hanya diam. Dia hanya memandang wajah kakaknya
lalu memandang guci tanah liat yang ada di genggaman kakaknya.
“Ayo kita pergi dari
sini sebelum para wartawan itu melihat kita berdua.” Ajak kakaknya.
Mereka berdua
langsung pergi begitu saja meninggalkan para rombongan wartawan yang sedari
tadi bergerombol di depan rumah sakit mencoba mencari berita tentang kronologi
kematian ibu mereka. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh dengan
menggunakan bus akhirnya mereka berdua sampai disebuah sungai yang berada tidak
jauh dari hutan. Dalam suasana hening mereka berdua menaburkan abu ibu mereka
ke dalam sungai.
“Ibu, pergilah dengan
tenang...jangan khawatirkan kami...aku akan menjaga Hyun Ae...” dia menatap
adiknya yang dari tadi hanya terdiam dengan pandangan kosong. “Ibu juga tidak
perlu mengkhawatirkan pria itu karena dia sudah ditahan polisi.” Lanjutnya.
“Oppa[1],
semuanya sudah berakhirkan?” tanya Hyun Ae, anak perempuan itu menatap kakaknya
dengan raut wajah datar, dia sama sekali tidak tersenyum ataupun terlihat
sedih, wajahnya terlihat sangat dingin.
Lee Dong Seuk meletakkan guci kosong bekas abu ibunya dan
menghampiri adiknya. Dia memandang wajah adiknya, hatinya sedih melihat adiknya
seperti itu, bersikap dingin dan tanpa ekspresi sama sekali. Dia memeluk
adiknya itu dengan sangat erat sambil bermaksud menyembunyikan air matanya.
“Iya, semua sudah
berakhir...mulai hari ini kita akan memulai hidup yang baru...kita berdua akan
hidup bahagia.”
Tiga hari setelah
ibu mereka meninggal, ayah mereka juga ikut meninggal. Beliau tewas akibat
diracuni dan tidak ada yang mengetahui siapa pelakunya. Sejak saat itu mereka
berdua resmi menjadi yatim piatu.
Lee Dong Seuk yang berusia 16 tahun saat itu harus berjuang dengan
keras untuk melindungi adiknya Lee Hyun
Ae yang baru berusia 15 tahun karena sekarang hanya tinggal mereka berdua.
Seminggu setelah
itu mereka berdua di kirim kesebuah panti asuhan karena mereka sudah tidak
punya sanak saudara yang bisa menjadi wali mereka. Kehidupan mereka berdua
membaik meski pada kenyataannya mereka tinggal di panti asuhan tapi Lee Dong
Seuk selalu berusaha menepati janjinya. Dia selalu berusaha untuk menjaga
adiknya dan berusaha untuk mengembalikan senyum adiknya lagi.
***
“Ampun ayah...ampun...maafkan aku...maaf...” kata-kata itu terus
menerus terulang dari mulut Hyun Ae setiap malam.
Meski semuanya sudah menjadi masa lalu tapi tetap saja semua itu
masih menjadi mimpi buruk yang terus menghantuinya saat tidur dan Dong Seuk akan
selalu ada saat dirinya terbangun akibat mimpi buruk itu. Dong Seuk selalu
berada disampingnya, memeluknya dan langsung menenangkannya saat mimpi buruk
itu datang menghampirinya.
“Sssttt...tenang Hyun
Ae itu hanya mimpi...tenang...tenangkan dirimu.” Ujarnya
“Oppa, Aboji...aboji[2]...”
Hyun Ae sangat ketakutan,dia memeluk kakaknya dengan sangat erat. Meski itu
hanya mimpi buruk seperti yang dikatakan kakaknya tapi tetap saja semua itu
terlihat begitu nyata untuknya.
“Hyun Ae, maafkan kakak
karena dulu tidak bisa melindungimu dengan baik tapi kakak janji mulai sekarang
nggak akan ada orang yang bisa menyakitimu.” Ucapnya. “Kakak akan menjadi
seribu kali lebih kuat agar bisa
melindungimu.”
Seperti hari-hari
yang mereka lalui sejak tinggal di panti asuhan, mereka lalui bersama meski
terkadang ada anak-anak disekitar mereka yang mengucilkan dan menggunjingkan
mereka karena latar belakang masa lalu mereka. Tidak banyak atau mungkin hampir
seluruh siswa di sekolah Dong Seuk dan Hyun Ae lebih memilih untuk tidak
berdekatan dengan mereka. Meski begitu
keadaan disekolah Hyun Ae lebih parah dari Dong Seuk, setidaknya Dong Seuk
masih punya teman-teman yang menghargainya. Teman juga tidak bisa disebut
dengan teman yang sesungguhnya karena semua teman-teman Dong Seuk bisa dibilang
gerombolan anak-anak nakal yang lebih mementingkan otot dari pada otak.
Sedangkan Hyun Ae
hanya gadis berusia 15 tahun dengan masa lalu kelam yang tidak bisa berbuat
apa-apa saat semua orang menjauhinya. Hyun Ae selalu menundukkan kepalanya,
mencoba menutupi wajahnya agar tidak ada seorang pun yang mengenalinya. Meski
dia mempunyai kakak yang sangat baik seperti Dong Seuk tetap saja di hatinya
masih ada lubang yang bahkan kakaknya sendiri tidak bisa hilangkan.
Sejak ayahnya
berubah sikap menjadi orang yang sangat kasar terhadapnya, Lee Hyun Ae berubah
menjadi gadis pendiam dan pemurung. Bahkan sekarang dia juga sudah lupa
bagaimana caranya untuk tersenyum. Hyun Ae selalu duduk sendirian di bawah
pohon besar yang ada di dekat panti asuhan. Dia selalu duduk menyandarkan diri
dipohon sembari sibuk membentuk kertas-kertas panjang menjadi bintang-bintang
kecil yang selalu dia kumpulkan.
“Hyun Ae!” teriak Dong
Seuk.
Lee Dong Seuk terlihat berlari dengan kencang menghampiri adiknya itu, dia terlihat sangat senang dan
terus memanggil-manggil nama adiknya. Dia langsung duduk di hadapan adiknya,
mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
“Aku punya sesuatu
untukmu.” Ujar Dong Seuk masih dengan nafas yang tersengal-sengal. “Tutup
matamu!” pintanya.
Hyun Ae langsung menutup matanya tanpa banyak tanya. Perlahan Dong
Seuk mengeluarkan sebuah kalung monel dengan liontin berbentuk Bintang dari
dalam sakunya.
“Sekarang buka matamu!”
pintanya lagi
Hyun Ae membuka ke dua matanya dan terkejut melihat kalung yang ada
di hadapannya apalagi dengan liontinnya yang berbentuk bintang karena sejak
kecil dia sangat menyukai bintang dan apa saja yang berbau bintang.
“Kamu
menyukainya?” tanya Dong Seuk
“Ne, Joahaeyo[3].”
Jawab adiknya
“Lihat ini!” sahutnya.
Lee Dong Seuk menunjukkan ukiran nama yang ada dibalik liontin itu. Lee Dong
Seuk dan Lee Hyun Ae.
“Oppa, ini sangat
bagus.”
Dong Seuk tersenyum mengetahui adiknya menyukai kalung
pemberiannya. “Bukan hanya itu saja.” Dong Seuk menunjukkan bahwa liontin
kalung itu bisa terbagi menjadi dua. “Yang separuh ini milik kamu dan yang satu
lagi milik kakak.” Ujarnya sembari mengalungkan kalung berliontin separuh
bintang dengan inisial nama adiknya di leher adiknya.
“Gamsahamnida[4],
oppa!”
Setelah mengalungkan kalung yang satunya ke lehernya sendiri, Dong
Seuk tersenyum manis ke arah adiknya lalu langsung membaringkan kepalanya di
paha adiknya. Dia tidur di pangkuan adiknya dan dia merasa sangat nyaman.
“Apapun yang terjadi
nanti...meskipun seandainya kita terpisah kita pasti akan bisa bersatu kembali karena
sama seperti kalung ini kita akan menjadi utuh jika bersatu.” Sahut Dong Seuk.
***
Lee Hyun Ae menghentikan langkah kakinya. Dia terdiam melihat
seseorang terbaring di pinggir jalan di bawah derasnya hujan. Langkahnya
terlihat ragu-ragu untuk menghampiri orang tersebut tapi dia memberanikan diri.
Perlahan dia mendekat.
“Jeogiyo[5]!”
ujar Hyun Ae. “Jeo-gi-yo” ulangnya tapi tidak ada jawaban.
Hyun Ae merunduk untuk melihat wajah orang itu lebih jelas dan dia
terkejut melihat luka lebam yang ada di wajah anak laki-laki itu. dia panik,
bingung harus berbuat apa.
Akhirnya Hyun Ae
membawa anak laki-laki itu kebawah pohon tempat dia biasanya duduk. Dia
membiarkan anak itu tidur dipangkuannya sembari dirinya mengobati luka yang ada
dikening anak itu. Hyun Ae terus menatap wajah anak laki-laki itu. Bertanya
pada dirinya sendiri apa yang telah terjadi sampai-sampai anak itu terluka
seperti ini. Tanpa sadar Hyun Ae tertidur saat menunggu anak laki-laki itu
tertidur dan ketika dia tersadar matahari sudah terbenam tapi wajah anak itu
justru lebih mengejutkannya. Begitu Hyun Ae membuka matanya hal pertama yang
dia lihat adalah wajah anak laki-laki itu, mereka berdua saling bertatapan
dalam waktu yang sangat lama.
“Jadi kamu yang
menolongku.” Ujar anak laki-laki itu.
“Ne?”[6]
“Gamsahamnida!”
ucapnya sambil tersenyum manis lalu dia memalingkan pandangannya pada name tag
yang ada di seragam yang digunakan Hyun Ae. “Gamsahamnida, Lee Hyun Ae!”
ulangnya lagi
Saat itu juga Hyun Ae langsung diliputi perasaan aneh. Dalam
hatinya terasa ada yang berdesir dan detak jantungnya terasa sepuluh kali lebih
cepat dari yang biasanya. Setelah sekian lama tidak ada orang yang memanggil
namanya dengan lengkap seperti itu kecuali kakaknya sendiri untuk pertama
kalinya ada yang memanggil namanya, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa.
“Ah, Ini milikmu? Maaf
karena telah merepotkanmu aku akan mengembalikannya besok.” Ujar anak itu
sembari memperlihatkan sapu tangan Hyun Ae
“Ne, kamu akan
kembali besok?”
“Tentu, aku harus
mengembalikan sapu tangan ini padamu.”
Hyun Ae kembali ke
panti asuhan tapi hati dan pikirannya masih berada di tempat anak laki-laki itu
dan untuk pertama kalinya dia merasakan sebuah kebahagiaan tapi kebahagiaan ini
berbeda dari apa yang dia rasakan saat bahagia bersama kakaknya.
“Dia memanggil namaku...Lee Hyun Ae...Lee Hyun Ae...” ujarnya
dengan sangat antusias. Jauh dalam lubuk hatinya dia berharap bisa bertemu lagi
dengan anak laki-laki itu.
Keesokan harinya
sepulang sekolah Hyun Ae langsung bergegas menuju pohon itu, dia menunggu dan
terus menunggu. Hyun Ae menunggu dengan sabar sambil membuat origami bintang
untuk mengusir kebosanannya.
“Datang...tidak...datang...tidak...datang...tidak...” guman Hyun Ae
berulangkali sambil terus melipat-lipat kertas ditangannya.
Tiba-tiba hujan
turun rintik-rintik dan dalam seketika hujan turun dengan sangat deras tapi
Hyun Ae memutuskan untuk tetap menunggu meskipun badannya sudah basah kuyup.
Dia terus menunggu tapi anak laki-laki itu tidak juga datang. Badannya sudah
menggigil kedinginan tapi dia tetap menunggu sampai akhirnya Dong Seuk datang
menjemputnya.
***
Kenapa anak itu tidak datang?
Apa dia baik-baik saja?
Apa dia benar-benar akan kembali kesana?
Apa dia akan tersenyum seperti itu lagi padaku?
Apa aku bisa bertemu lagi dengannya?
Hyun Ae sedikit kecewa karena kemarin tidak sempat bertemu dengan
anak laki-laki itu dan hal itu terus mengganggu pikirannya. Dia ingin tahu
bagaimana keadaan anak itu. dia sangat penasaran tapi tidak ada yang bisa
dilakukan karena dia tidak tahu siapa dan dimana alamat anak itu.
Seperti biasa Hyun
Ae berjalan dengan kepala tertunduk dan rambut panjangnya yang terurai selalu
menutupi wajahnya. Dia berjalan perlahan menaiki anak tangga lalu melewati
lorong koridor dan masuk ke dalam kelasnya, dia duduk di bangku yang terletak
di pojok sudut ruangan dekat jendela. Hyun Ae sudah terbiasa dikucilkan dan
sampai sekarang dia sama sekali tidak punya teman, para siswa di kelasnya lebih
suka untuk menjahilinya dari pada berteman dengannya.
Tapi hari ini mendadak sesuatu yang diluar kebiasaan terjadi saat
jam makan siang. Tiba-tiba seorang anak laki-laki berdiri di ambang pintu kelas
clingak-clinguk seperti sedang mencari seseorang. Anak laki-laki itu tersenyum
simpul saat menemukan orang yang dia cari, dia berjalan menghampiri orang
tersebut dan semua mata memandang ke arahnya. Dia duduk tepat di depan orang
yang dia cari, memandang langsung ke orang itu lalu tersenyum.
“Lee Hyun Ae, Mianhe!”
ujarnya.
Hyun Ae yang saat itu bingung sama bingungnya dengan para siswa
yang memperhatikan mereka hanya bisa berkata, “Ne?”
“Maaf kemarin aku tidak
datang aku harap kamu tidak marah.” Sahut anak cowok itu
“Apa yang sedang kamu lakukan? Semua orang sedang melihat kita.”
ujar Hyun Ae yang dari tadi hanya menundukkan kepalanya tidak berani menatap
cowok yang ada di depannya.
“Aku sedang mengobrol denganmu...setidaknya angkat kepalamu agar
aku bisa melihat wajahmu dengan jelas.” Sahut anak itu tapi sama sekali tidak
berhasil kerena Hyun Ae tetap saja menundukkan kepalanya.
Karena merasa jadi bahan tontonan anak cowok itu melemparkan
pandangannya ke semua orang yang sedang melihatnya dan itu membuatnya sadar kenapa
gadis di depannya ini tidak mau menatapnya secara langsung. Anak itu langsung
mengeluarkan dua karcis makan siang di kantin dan meletakkannya di meja gadis
itu.
“I geo mwoyeyo[7]?”
tanya Hyun Ae bingung.
“Apalagi aku ingin
mentraktirmu makan siang.” Anak itu berjalan meninggalkan Hyun Ae yang masih
terpaku di tempat duduknya, begitu sampai di depan pintu anak itu berbalik.
“Ayo, Aku sudah lapar!” ujarnya.
Seketika itu juga Hyun Ae langsung bangkit, menyambar karcis yang
di letakkan di meja lalu berjalan menyusul anak itu.
Suasana kantin
siang itu mendadak ramai, bukan karena makanannya enak tapi karena hampir semua
orang yang ada disana sedang melihat pemandangan yang tidak biasa. Seorang anak
pembunuh yang paling dikucilkan dan pangeran sekolah mereka makan siang
bersama. Pemandangan itu berhasil membuat satu sekolah bertanya-tanya ada
hubungan apa di antara mereka berdua.
“Apa maksudmu melakukan
semua ini?” tanya Hyun Ae yang kehilangan selera makannya karena dari tadi dia
sedang di perhatikan hampir semua orang yang ada di kantin sekolah.
“Apa? Melakukan apa? Aku
hanya lapar dan aku tidak suka makan sendirian.” Jawab anak itu sembari terus
makan.
“Apa kamu tidak sadar
semua orang terus melihat ke arah kita?”
Anak laki-laki itu langsung melemparkan pandangannya ke arah
orang-orang yang terang-terang memperhatikan mereka.
“Memang kenapa? Aku
tidak melakukan suatu kejahatan disini.” Jawabnya cuek
“Sebaiknya aku pergi
sebelum kamu dapat masalah.” Hyun Ae bermaksud berdiri tapi tiba-tiba anak itu
menginjak kakinya hingga membuat dirinya hampir berteriak kesakitan sebelum
akhirnya anak itu memasukkan beberapa potong kimchi ke mulut Hyun Ae.
“Aku belum menyuruhmu
pergi jadi jangan sekali-kali berpikir untuk pergi dariku kecuali aku yang
menyuruhmu.” Sahut anak laki-laki itu.
Dengan terpaksa Hyun Ae
tetap menemani anak itu meskipun dia sendiri sebenarnya tidak nyaman
jadi bahan tontonan seisi sekolah tapi dia tidak punya pilihan lain.
“Hmm...Gamsahamnida,
jal meogeosseumnida[8]!”
ujar Hyun Ae setelah makan
“Aku yang seharusnya
berterima kasih padamu dan mengucapkan maaf karena kemarin tidak bisa datang
menemuimu.” Sahutnya. Anak cowok itu tersenyum manis ke arahnya.
Masih dengan kepala tertunduk Hyun Ae tidak berani menatap langsung
ke arah anak cowok itu, dia hanya berharap anak itu segera sadar dan pergi
meninggalkannya. Dia tidak mau anak itu mendapatkan masalah karena terlihat
duduk dengannya.
“Hey, Joon Shu apa yang
sedang kamu pikirkan?” ujar salah seorang anak perempuan yang duduk tidak jauh
dari mereka.
“Iya, kenapa kamu mau
makan dengan si 21 itu?” timpal salah seorang siswa lain.
Mendengar
perkataan mereka semua Hyun Ae merasa tersinggung apalagi dengan paggilan 21
yang di tujukan kepadanya. Ya, itulah dirinya gadis dengan nomor 21. Sejak awal
tidak satu pun anak-anak disekolah ini mau memanggil namanya mereka lebih suka
memanggilnya dengan sebutan 21. Hyun Ae bangkit dari tempat duduknya, sebelum
pergi sekali lagi dia mengucapkan terima kasih. Baru beberapa langkah dia
berjalan salah seorang siswi perempuan yang merasa kesal bermaksud melemparinya
dengan susu kotak tapi berkat kesigapan Joon Shu yang menarik tangannya dan
langsung berdiri di depannya, susu itu tidak mengenainya melainkan mengenai
punggung Joon Shu. Sama seperti Hyun Ae semua orang terkejut melihat
pemandangan itu.
“Kamu baik-baik saja?”
tanya Joon Shu
Hyun Ae hanya terdiam, dia masih terkejut dengan tindakan Joon Shu
yang melindunginya ditambah lagi saat ini dia berada dalam jarak yang sangat
dekat dengan Joon Shu.
“Kalian semua dengarkan
aku...mulai sekarang tidak ada satupun dari kalian yang boleh mengganggu Lee
Hyun Ae lagi karena mulai sekarang dia berada dalam pengawasanku...kalian semua
mengerti?”
Hyun Ae berlari
meninggalkan Joon Shu sebelum semuanya menjadi tambah aneh baginya. Dia tidak
mengerti kenapa cowok itu melakkan hal seperti ini, seharusnya cowok itu tidak
melakukan hal bodoh seperti tadi dan sekarang seisi sekolah pasti sudah tahu
dan besok perlakuan mereka akan lebih buruk lagi terhadapnya.
“Hey, tunggu!” ujar Joon
Shu
“Kenapa kamu melakukan
semua ini?”
“Apa? Aku hanya ingin
berterima kasih.”
“Seharusnya kamu tidak
perlu melakukan hal itu.”
Joon Shu menghela nafasnya. Dia tahu mungkin ini tidak mudah bagi
gadis seperti Hyun Ae dan dia juga tidak mau berdebat dengan gadis itu.
“Maafkan aku...aku
tidak akan mengulanginya lagi.” Sahut Joon Shu. Lalu dia mengulurkan tangannya.
“Jeoneun Park Joon Shu imnida.” Ujarnya lagi.
Dengan malu-malu Hyun Ae menyambut uluran tangan itu dan sejak saat
itu mereka resmi berteman.
Park Joon Shu dan
Lee Hyun Ae sangat sering menghabiskan waktu bersama, mereka berdua menjadi
sahabat yang sangat akrab bahkan dimata orang-orang disekitar mereka hubungan
itu lebih dari sekedar persahabatan tapi mereka berdua hanya diam dan tidak
memperdulikan hal itu. Berkat kehadiran Park Joon Shu dalam hidupnya, Lee Hyun
Ae bisa kembali tersenyum dengan lebar. Dia merasa kehidupanya telah kembali
dan dia sangat berterima kasih untuk itu.
To Be Continue....
Komentar
Posting Komentar