Langsung ke konten utama

I See You

Chingu (Friend) That Called Her Name

Tap...tap...tap...
Suara langkah kaki anak perempuan itu terdengar sangat ringan tapi hati-hati. Sesekali dia menengok kebelakang untuk memastikan tidak ada seorang pun yang mengikutinya. Kepalanya terus tertunduk dan rambutnya yang panjang tergerai menutupi wajahnya.  Ketika langkah kakinya berhenti tepat di depan sebuah pintu rumah, gadis itu terdiam. Dia menatap pintu itu dalam-dalam. Sebenarnya dalam hatinya dia tidak ingin kembali ke rumah ini tapi jika tidak kembali kemana lagi dia akan pulang karena ini rumahnya. Meski tidak bisa di bilang rumah juga.
Perlahan dia mengeluarkan kunci dari saku seragam sekolahnya dan membuka pintu rumahnya, langkahnya terasa sangat berat untuk melangkah masuk ke dalam rumah itu karena dia tahu begitu dia masuk maka kehidupan seperti di neraka akan menghampirinya. Meski diliputi rasa takut gadis itu tetap berusaha menguatkan dirinya untuk masuk ke dalam rumah.
Buk...
Tubuh anak perempuan itu mendarat dengan keras dilantai. Dia mencoba bangkit meski seluruh badannya terasa sakit akibat perbuatan ayahnya yang langsung menyeret dan membantingnya ke lantai begitu dia masuk ke dalam rumah. Belum puas dengan membantingnya ke lantai anak perempuan itu juga mendapatkan beberapa pukulan keras di bagian pipi dan perutnya.
     “Ampun ayah...Ampun...Maafkan aku...” rintih anak perempuan itu tapi ayahnya tidak mau mendengarkan dan terus menyiksanya.
     “Dasar Anak Tidak Berguna.” Umpat ayahnya
     “Maaf ayah...maafkan aku...maafkan aku...” anak perempuan itu hanya bisa memohon maaf saat ayahnya terus saja memukulinya.
     “Dimana Ibu dan kakakmu? Katakan dimana mereka?”
     “Maaf ayah aku tidak tahu...Maaf-maafkan aku!”
Anak perempuan itu menangis sambil merintih kesakitan, pukulan demi pukulan terus dia terima dari ayahnya. Bau darah tercium dengan sangat tajam di hidungnya dan perlahan penglihatannya mulai kabur. Dia terus mendapatkan siksaan dari ayahnya hingga semua badannya terasa sakit dan dia hampir kehilangan kesadarannya. Anak perempuan itu hanya bisa berkata ‘maaf’ meski ayahnya tidak pernah menggubrisnya. Di detik-detik terakhir kesadarannya samar-samar dia seperti melihat Ibu dan kakaknya datang tapi setelah itu semuanya berubah menjadi gelap.
            Begitu anak perempuan itu membuka kedua matanya, dia tidak dapat melihat dengan jelas karena seluruh ruangan itu gelap hanya di terangi oleh sinar rembulan dan lampu-lampu di luar yang menembus masuk lewat kaca dinding ventilasi dan jendela. Badannya masih merasakan sakit dan dia juga masih lemas kehabisan tenaga, dengan susah payah dia bangkit dan menyandarkan tubuhnya di tembok. Nafasnya berat.
Saat kesadarannya sudah pulih seratus persen anak itu terkejut, dia mencium bau darah yang sangat menyengat dan saat itu juga dia baru menyadari kalau banyak sekali darah yang berceceran hampir di seluruh ruangan. Anak itu langsung dihinggapi rasa takut, badannya gemetaran. Dia sangat takut dan seketika itu juga dia melihat tubuh Ibunya tergeletak di lantai dengan mata menatap tajam ke arahnya dan berlumuran darah sementara ayahnya sibuk menusukkan pisau ke tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa. Dia sangat ketakutan sampai-sampai suaranya tidak bisa keluar. Dia ingin menjerit tapi tidak bisa, suaranya seakan tertahan di tenggorokan.
Ayahnya menatap kearahnya, tersenyum lalu bangkit menghampirinya dengan membawa pisau yang berlumuran darah. Ayahnya mendekat lalu menampar wajahnya cukup keras.
     “Ampun ayah...jangan lakukan ini...ampun...!” ujar sang anak tapi ayah malah semakin senang melihat anaknya itu ketakutan.
     “Kamu lihat itu...wanita itu sudah mati...hahaha” sahut ayahnya. Pria itu terlihat sangat senang dan tidak memiliki penyesalan apa pun.
Dia mendekatkan pisau itu di wajah putrinya berniat untuk melakukan hal yang sama kepada putrinya tapi untung saja polisi datang dan segera menyergapnya. Seketika itu juga anak perempuan itu langsung jatuh pingsan.
***
Anak perempuan berusia limabelas tahun itu berdiri sendirian di samping rumah sakit, dia berdiri seakan sedang menunggu seseorang datang, kepalanya tertunduk ke bawah dan rambut panjangnya yang terurai menutupi wajahnya, sesekali dia menekuk salah satu kakinya dan mengetuk-ngetuk tanah dengan ujung kakinya. Cukup lama dia berdiri disana sampai akhirnya kakaknya datang menghampirinya.
     “Maaf membuatmu menunggu lama.” Ujar kakaknya.
Anak perempuan itu hanya diam. Dia hanya memandang wajah kakaknya lalu memandang guci tanah liat yang ada di genggaman kakaknya.
     “Ayo kita pergi dari sini sebelum para wartawan itu melihat kita berdua.” Ajak kakaknya.
Mereka berdua langsung pergi begitu saja meninggalkan para rombongan wartawan yang sedari tadi bergerombol di depan rumah sakit mencoba mencari berita tentang kronologi kematian ibu mereka. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh dengan menggunakan bus akhirnya mereka berdua sampai disebuah sungai yang berada tidak jauh dari hutan. Dalam suasana hening mereka berdua menaburkan abu ibu mereka ke dalam sungai.
     “Ibu, pergilah dengan tenang...jangan khawatirkan kami...aku akan menjaga Hyun Ae...” dia menatap adiknya yang dari tadi hanya terdiam dengan pandangan kosong. “Ibu juga tidak perlu mengkhawatirkan pria itu karena dia sudah ditahan polisi.” Lanjutnya.
    “Oppa[1], semuanya sudah berakhirkan?” tanya Hyun Ae, anak perempuan itu menatap kakaknya dengan raut wajah datar, dia sama sekali tidak tersenyum ataupun terlihat sedih, wajahnya terlihat sangat dingin.
Lee Dong Seuk meletakkan guci kosong bekas abu ibunya dan menghampiri adiknya. Dia memandang wajah adiknya, hatinya sedih melihat adiknya seperti itu, bersikap dingin dan tanpa ekspresi sama sekali. Dia memeluk adiknya itu dengan sangat erat sambil bermaksud menyembunyikan air matanya.
     “Iya, semua sudah berakhir...mulai hari ini kita akan memulai hidup yang baru...kita berdua akan hidup bahagia.”
            Tiga hari setelah ibu mereka meninggal, ayah mereka juga ikut meninggal. Beliau tewas akibat diracuni dan tidak ada yang mengetahui siapa pelakunya. Sejak saat itu mereka berdua resmi menjadi yatim piatu.
Lee Dong Seuk yang berusia 16 tahun saat itu harus berjuang dengan keras untuk melindungi adiknya  Lee Hyun Ae yang baru berusia 15 tahun karena sekarang hanya tinggal mereka berdua.
            Seminggu setelah itu mereka berdua di kirim kesebuah panti asuhan karena mereka sudah tidak punya sanak saudara yang bisa menjadi wali mereka. Kehidupan mereka berdua membaik meski pada kenyataannya mereka tinggal di panti asuhan tapi Lee Dong Seuk selalu berusaha menepati janjinya. Dia selalu berusaha untuk menjaga adiknya dan berusaha untuk mengembalikan senyum adiknya lagi.
***
“Ampun ayah...ampun...maafkan aku...maaf...” kata-kata itu terus menerus terulang dari mulut Hyun Ae setiap malam.
Meski semuanya sudah menjadi masa lalu tapi tetap saja semua itu masih menjadi mimpi buruk yang terus menghantuinya saat tidur dan Dong Seuk akan selalu ada saat dirinya terbangun akibat mimpi buruk itu. Dong Seuk selalu berada disampingnya, memeluknya dan langsung menenangkannya saat mimpi buruk itu datang menghampirinya.
      “Sssttt...tenang Hyun Ae itu hanya mimpi...tenang...tenangkan dirimu.” Ujarnya
      “Oppa, Aboji...aboji[2]...” Hyun Ae sangat ketakutan,dia memeluk kakaknya dengan sangat erat. Meski itu hanya mimpi buruk seperti yang dikatakan kakaknya tapi tetap saja semua itu terlihat begitu nyata untuknya.
     “Hyun Ae, maafkan kakak karena dulu tidak bisa melindungimu dengan baik tapi kakak janji mulai sekarang nggak akan ada orang yang bisa menyakitimu.” Ucapnya. “Kakak akan menjadi seribu  kali lebih kuat agar bisa melindungimu.”
            Seperti hari-hari yang mereka lalui sejak tinggal di panti asuhan, mereka lalui bersama meski terkadang ada anak-anak disekitar mereka yang mengucilkan dan menggunjingkan mereka karena latar belakang masa lalu mereka. Tidak banyak atau mungkin hampir seluruh siswa di sekolah Dong Seuk dan Hyun Ae lebih memilih untuk tidak berdekatan dengan mereka.  Meski begitu keadaan disekolah Hyun Ae lebih parah dari Dong Seuk, setidaknya Dong Seuk masih punya teman-teman yang menghargainya. Teman juga tidak bisa disebut dengan teman yang sesungguhnya karena semua teman-teman Dong Seuk bisa dibilang gerombolan anak-anak nakal yang lebih mementingkan otot dari pada otak.
            Sedangkan Hyun Ae hanya gadis berusia 15 tahun dengan masa lalu kelam yang tidak bisa berbuat apa-apa saat semua orang menjauhinya. Hyun Ae selalu menundukkan kepalanya, mencoba menutupi wajahnya agar tidak ada seorang pun yang mengenalinya. Meski dia mempunyai kakak yang sangat baik seperti Dong Seuk tetap saja di hatinya masih ada lubang yang bahkan kakaknya sendiri tidak bisa hilangkan.
            Sejak ayahnya berubah sikap menjadi orang yang sangat kasar terhadapnya, Lee Hyun Ae berubah menjadi gadis pendiam dan pemurung. Bahkan sekarang dia juga sudah lupa bagaimana caranya untuk tersenyum. Hyun Ae selalu duduk sendirian di bawah pohon besar yang ada di dekat panti asuhan. Dia selalu duduk menyandarkan diri dipohon sembari sibuk membentuk kertas-kertas panjang menjadi bintang-bintang kecil yang selalu dia kumpulkan.
     “Hyun Ae!” teriak Dong Seuk.
Lee Dong Seuk terlihat berlari dengan kencang menghampiri  adiknya itu, dia terlihat sangat senang dan terus memanggil-manggil nama adiknya. Dia langsung duduk di hadapan adiknya, mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
     “Aku punya sesuatu untukmu.” Ujar Dong Seuk masih dengan nafas yang tersengal-sengal. “Tutup matamu!” pintanya.
Hyun Ae langsung menutup matanya tanpa banyak tanya. Perlahan Dong Seuk mengeluarkan sebuah kalung monel dengan liontin berbentuk Bintang dari dalam sakunya.
      “Sekarang buka matamu!” pintanya lagi
Hyun Ae membuka ke dua matanya dan terkejut melihat kalung yang ada di hadapannya apalagi dengan liontinnya yang berbentuk bintang karena sejak kecil dia sangat menyukai bintang dan apa saja yang berbau bintang.
    “Kamu menyukainya?” tanya Dong Seuk
    “Ne, Joahaeyo[3].” Jawab adiknya
    “Lihat ini!” sahutnya. Lee Dong Seuk menunjukkan ukiran nama yang ada dibalik liontin itu. Lee Dong Seuk dan Lee Hyun Ae.
     “Oppa, ini sangat bagus.”
Dong Seuk tersenyum mengetahui adiknya menyukai kalung pemberiannya. “Bukan hanya itu saja.” Dong Seuk menunjukkan bahwa liontin kalung itu bisa terbagi menjadi dua. “Yang separuh ini milik kamu dan yang satu lagi milik kakak.” Ujarnya sembari mengalungkan kalung berliontin separuh bintang dengan inisial nama adiknya di leher adiknya.
    “Gamsahamnida[4], oppa!”   
Setelah mengalungkan kalung yang satunya ke lehernya sendiri, Dong Seuk tersenyum manis ke arah adiknya lalu langsung membaringkan kepalanya di paha adiknya. Dia tidur di pangkuan adiknya dan dia merasa sangat nyaman.
   “Apapun yang terjadi nanti...meskipun seandainya kita terpisah kita pasti akan bisa bersatu kembali karena sama seperti kalung ini kita akan menjadi utuh jika bersatu.” Sahut Dong Seuk.
***
Lee Hyun Ae menghentikan langkah kakinya. Dia terdiam melihat seseorang terbaring di pinggir jalan di bawah derasnya hujan. Langkahnya terlihat ragu-ragu untuk menghampiri orang tersebut tapi dia memberanikan diri. Perlahan dia mendekat.
     “Jeogiyo[5]!” ujar Hyun Ae. “Jeo-gi-yo” ulangnya tapi tidak ada jawaban.
Hyun Ae merunduk untuk melihat wajah orang itu lebih jelas dan dia terkejut melihat luka lebam yang ada di wajah anak laki-laki itu. dia panik, bingung harus berbuat apa.
            Akhirnya Hyun Ae membawa anak laki-laki itu kebawah pohon tempat dia biasanya duduk. Dia membiarkan anak itu tidur dipangkuannya sembari dirinya mengobati luka yang ada dikening anak itu. Hyun Ae terus menatap wajah anak laki-laki itu. Bertanya pada dirinya sendiri apa yang telah terjadi sampai-sampai anak itu terluka seperti ini. Tanpa sadar Hyun Ae tertidur saat menunggu anak laki-laki itu tertidur dan ketika dia tersadar matahari sudah terbenam tapi wajah anak itu justru lebih mengejutkannya. Begitu Hyun Ae membuka matanya hal pertama yang dia lihat adalah wajah anak laki-laki itu, mereka berdua saling bertatapan dalam waktu yang sangat lama.
     “Jadi kamu yang menolongku.” Ujar anak laki-laki itu.
     “Ne?”[6]
     “Gamsahamnida!” ucapnya sambil tersenyum manis lalu dia memalingkan pandangannya pada name tag yang ada di seragam yang digunakan Hyun Ae. “Gamsahamnida, Lee Hyun Ae!” ulangnya lagi
Saat itu juga Hyun Ae langsung diliputi perasaan aneh. Dalam hatinya terasa ada yang berdesir dan detak jantungnya terasa sepuluh kali lebih cepat dari yang biasanya. Setelah sekian lama tidak ada orang yang memanggil namanya dengan lengkap seperti itu kecuali kakaknya sendiri untuk pertama kalinya ada yang memanggil namanya, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa.
    “Ah, Ini milikmu? Maaf karena telah merepotkanmu aku akan mengembalikannya besok.” Ujar anak itu sembari memperlihatkan sapu tangan Hyun Ae
    “Ne, kamu akan kembali besok?”
    “Tentu, aku harus mengembalikan sapu tangan ini padamu.”
            Hyun Ae kembali ke panti asuhan tapi hati dan pikirannya masih berada di tempat anak laki-laki itu dan untuk pertama kalinya dia merasakan sebuah kebahagiaan tapi kebahagiaan ini berbeda dari apa yang dia rasakan saat bahagia bersama kakaknya.
“Dia memanggil namaku...Lee Hyun Ae...Lee Hyun Ae...” ujarnya dengan sangat antusias. Jauh dalam lubuk hatinya dia berharap bisa bertemu lagi dengan anak laki-laki itu.
            Keesokan harinya sepulang sekolah Hyun Ae langsung bergegas menuju pohon itu, dia menunggu dan terus menunggu. Hyun Ae menunggu dengan sabar sambil membuat origami bintang untuk mengusir kebosanannya.
“Datang...tidak...datang...tidak...datang...tidak...” guman Hyun Ae berulangkali sambil terus melipat-lipat kertas ditangannya.
Tiba-tiba hujan turun rintik-rintik dan dalam seketika hujan turun dengan sangat deras tapi Hyun Ae memutuskan untuk tetap menunggu meskipun badannya sudah basah kuyup. Dia terus menunggu tapi anak laki-laki itu tidak juga datang. Badannya sudah menggigil kedinginan tapi dia tetap menunggu sampai akhirnya Dong Seuk datang menjemputnya.
***
Kenapa anak itu tidak datang?
Apa dia baik-baik saja?
Apa dia benar-benar akan kembali kesana?
Apa dia akan tersenyum seperti itu lagi padaku?
Apa aku bisa bertemu lagi dengannya?
Hyun Ae sedikit kecewa karena kemarin tidak sempat bertemu dengan anak laki-laki itu dan hal itu terus mengganggu pikirannya. Dia ingin tahu bagaimana keadaan anak itu. dia sangat penasaran tapi tidak ada yang bisa dilakukan karena dia tidak tahu siapa dan dimana alamat anak itu.
            Seperti biasa Hyun Ae berjalan dengan kepala tertunduk dan rambut panjangnya yang terurai selalu menutupi wajahnya. Dia berjalan perlahan menaiki anak tangga lalu melewati lorong koridor dan masuk ke dalam kelasnya, dia duduk di bangku yang terletak di pojok sudut ruangan dekat jendela. Hyun Ae sudah terbiasa dikucilkan dan sampai sekarang dia sama sekali tidak punya teman, para siswa di kelasnya lebih suka untuk menjahilinya dari pada berteman dengannya.
Tapi hari ini mendadak sesuatu yang diluar kebiasaan terjadi saat jam makan siang. Tiba-tiba seorang anak laki-laki berdiri di ambang pintu kelas clingak-clinguk seperti sedang mencari seseorang. Anak laki-laki itu tersenyum simpul saat menemukan orang yang dia cari, dia berjalan menghampiri orang tersebut dan semua mata memandang ke arahnya. Dia duduk tepat di depan orang yang dia cari, memandang langsung ke orang itu lalu tersenyum.
    “Lee Hyun Ae, Mianhe!” ujarnya.
Hyun Ae yang saat itu bingung sama bingungnya dengan para siswa yang memperhatikan mereka hanya bisa berkata, “Ne?”
    “Maaf kemarin aku tidak datang aku harap kamu tidak marah.” Sahut anak cowok itu
“Apa yang sedang kamu lakukan? Semua orang sedang melihat kita.” ujar Hyun Ae yang dari tadi hanya menundukkan kepalanya tidak berani menatap cowok yang ada di depannya.
“Aku sedang mengobrol denganmu...setidaknya angkat kepalamu agar aku bisa melihat wajahmu dengan jelas.” Sahut anak itu tapi sama sekali tidak berhasil kerena Hyun Ae tetap saja menundukkan kepalanya.
Karena merasa jadi bahan tontonan anak cowok itu melemparkan pandangannya ke semua orang yang sedang melihatnya dan itu membuatnya sadar kenapa gadis di depannya ini tidak mau menatapnya secara langsung. Anak itu langsung mengeluarkan dua karcis makan siang di kantin dan meletakkannya di meja gadis itu.
      “I geo mwoyeyo[7]?” tanya Hyun Ae bingung.
      “Apalagi aku ingin mentraktirmu makan siang.” Anak itu berjalan meninggalkan Hyun Ae yang masih terpaku di tempat duduknya, begitu sampai di depan pintu anak itu berbalik. “Ayo, Aku sudah lapar!” ujarnya.
Seketika itu juga Hyun Ae langsung bangkit, menyambar karcis yang di letakkan di meja lalu berjalan menyusul anak itu.
            Suasana kantin siang itu mendadak ramai, bukan karena makanannya enak tapi karena hampir semua orang yang ada disana sedang melihat pemandangan yang tidak biasa. Seorang anak pembunuh yang paling dikucilkan dan pangeran sekolah mereka makan siang bersama. Pemandangan itu berhasil membuat satu sekolah bertanya-tanya ada hubungan apa di antara mereka berdua.
      “Apa maksudmu melakukan semua ini?” tanya Hyun Ae yang kehilangan selera makannya karena dari tadi dia sedang di perhatikan hampir semua orang yang ada di kantin sekolah.
     “Apa? Melakukan apa? Aku hanya lapar dan aku tidak suka makan sendirian.” Jawab anak itu sembari terus makan.
    “Apa kamu tidak sadar semua orang terus melihat ke arah kita?”
Anak laki-laki itu langsung melemparkan pandangannya ke arah orang-orang yang terang-terang memperhatikan mereka.
      “Memang kenapa? Aku tidak melakukan suatu kejahatan disini.” Jawabnya cuek
      “Sebaiknya aku pergi sebelum kamu dapat masalah.” Hyun Ae bermaksud berdiri tapi tiba-tiba anak itu menginjak kakinya hingga membuat dirinya hampir berteriak kesakitan sebelum akhirnya anak itu memasukkan beberapa potong kimchi ke mulut Hyun Ae.
      “Aku belum menyuruhmu pergi jadi jangan sekali-kali berpikir untuk pergi dariku kecuali aku yang menyuruhmu.” Sahut anak laki-laki itu.
Dengan terpaksa Hyun Ae  tetap menemani anak itu meskipun dia sendiri sebenarnya tidak nyaman jadi bahan tontonan seisi sekolah tapi dia tidak punya pilihan lain.
    “Hmm...Gamsahamnida, jal meogeosseumnida[8]!” ujar Hyun Ae setelah makan
    “Aku yang seharusnya berterima kasih padamu dan mengucapkan maaf karena kemarin tidak bisa datang menemuimu.” Sahutnya. Anak cowok itu tersenyum manis ke arahnya.
Masih dengan kepala tertunduk Hyun Ae tidak berani menatap langsung ke arah anak cowok itu, dia hanya berharap anak itu segera sadar dan pergi meninggalkannya. Dia tidak mau anak itu mendapatkan masalah karena terlihat duduk dengannya.
    “Hey, Joon Shu apa yang sedang kamu pikirkan?” ujar salah seorang anak perempuan yang duduk tidak jauh dari mereka.
    “Iya, kenapa kamu mau makan dengan si 21 itu?” timpal salah seorang siswa lain.
Mendengar perkataan mereka semua Hyun Ae merasa tersinggung apalagi dengan paggilan 21 yang di tujukan kepadanya. Ya, itulah dirinya gadis dengan nomor 21. Sejak awal tidak satu pun anak-anak disekolah ini mau memanggil namanya mereka lebih suka memanggilnya dengan sebutan 21. Hyun Ae bangkit dari tempat duduknya, sebelum pergi sekali lagi dia mengucapkan terima kasih. Baru beberapa langkah dia berjalan salah seorang siswi perempuan yang merasa kesal bermaksud melemparinya dengan susu kotak tapi berkat kesigapan Joon Shu yang menarik tangannya dan langsung berdiri di depannya, susu itu tidak mengenainya melainkan mengenai punggung Joon Shu. Sama seperti Hyun Ae semua orang terkejut melihat pemandangan itu.
    “Kamu baik-baik saja?” tanya Joon Shu
Hyun Ae hanya terdiam, dia masih terkejut dengan tindakan Joon Shu yang melindunginya ditambah lagi saat ini dia berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Joon Shu.
    “Kalian semua dengarkan aku...mulai sekarang tidak ada satupun dari kalian yang boleh mengganggu Lee Hyun Ae lagi karena mulai sekarang dia berada dalam pengawasanku...kalian semua mengerti?”
            Hyun Ae berlari meninggalkan Joon Shu sebelum semuanya menjadi tambah aneh baginya. Dia tidak mengerti kenapa cowok itu melakkan hal seperti ini, seharusnya cowok itu tidak melakukan hal bodoh seperti tadi dan sekarang seisi sekolah pasti sudah tahu dan besok perlakuan mereka akan lebih buruk lagi terhadapnya.
      “Hey, tunggu!” ujar Joon Shu
      “Kenapa kamu melakukan semua ini?”
      “Apa? Aku hanya ingin berterima kasih.”
      “Seharusnya kamu tidak perlu melakukan hal itu.”
Joon Shu menghela nafasnya. Dia tahu mungkin ini tidak mudah bagi gadis seperti Hyun Ae dan dia juga tidak mau berdebat dengan gadis itu.
      “Maafkan aku...aku tidak akan mengulanginya lagi.” Sahut Joon Shu. Lalu dia mengulurkan tangannya. “Jeoneun Park Joon Shu imnida.” Ujarnya lagi.
Dengan malu-malu Hyun Ae menyambut uluran tangan itu dan sejak saat itu mereka resmi berteman.
            Park Joon Shu dan Lee Hyun Ae sangat sering menghabiskan waktu bersama, mereka berdua menjadi sahabat yang sangat akrab bahkan dimata orang-orang disekitar mereka hubungan itu lebih dari sekedar persahabatan tapi mereka berdua hanya diam dan tidak memperdulikan hal itu. Berkat kehadiran Park Joon Shu dalam hidupnya, Lee Hyun Ae bisa kembali tersenyum dengan lebar. Dia merasa kehidupanya telah kembali dan dia sangat berterima kasih untuk itu.


 To Be Continue....




[1] Panggilan untuk kakak laki-laki
[2] Panggilan untuk Ayah
[3] Iya, aku menyukainya
[4] Terima kasih
[5] Permisi
[6] Ya?
[7] Apa ini?
[8] Terima kasih sudah mentraktirku makan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Public Relations di Indonesia dan di Dunia (Dasar Public Relation)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini Public Relations telah mengalami perkembangan yang sangat cepat da siginifikan baik di Indonesia sendiri maupun di negara-negara lain di dunia. Sejarah Perkembangan Public Relations sendiri sejalan dengan perkembangan manusia, artinya sejak manusia ada, manusia butuh berkomunikasi untuk saling memahami satu sama lain dan sejak itu pula Public Relation ada. Proses perkembangan Public Relations sendiri tidak selalu sama antara negara yang satu dengan negara lainnya karena proses sejarah perkembangan Public Relations itu sendiri tergantung pada situasi kondisi masyarakat yang cukup kompleks dan selalu berubah-ubah disetiap generasi. Di masa mendatang Public Relations diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang pesat dan sangat luar biasa. Sejarah perkembangan Public Relations juga terkait dengan keberadaan manusia sebagai unsur-unsur pemberi informasi yang akan mengembangakan Puclic Relatio

Review Film "Ghost" Drama Korea

Profile Drama: Phantom / Ghost (literal titles) / 유령 Director: Kim Hyeong-Sik Writer: Kim Eun-Hee Network: SBS Episodes: 20 Release Date: May 30, 2012 - August 9, 2012 Runtime: Wednesday & Thursday 21:55 Language: Korean Country: South Korea Plot Kim Woo-Hyun ( So Ji-Sub ) is the only son of a high ranking police officer. Woo-Hyun entered the police academy ranked first and graduated from the academy ranked first. As a detective, he then joins the cyber investigation department. Woo-Hyun then works to reveal the secrets of those that hide within the cyber world. .... Kim Woo-Hyun leads the cyber investigation team and works to take down an illegal international gambling website. South Korea, Hong Kong and China all cooperate to arrest those involved with the website at the same time. When Kim Woo-Hyun and his team raid the location of the site, the data is destroyed by a program set up by Hades. Nevertheless, Kim Woo-Hyun and his team uses a traceroute to locate

Government Relations (Hubungan Eksternal Public Relation Dengan Pemerintah)

BAB I PENDAHULUAN 1.1  Latar belakang   Dalam suatu  institusi atau perusahaan komunikasi sangat penting sebagai sarana dalam menjalin hubungan dengan pihak intern maupun ekstern. berhasil ataa gagalnya suatu institusi / perusahaan sangat tergantung pada bagaimana cara membina hubungan yang baik dengan sesama rekan kerja dan pihak luar yang terkait dalam proses perkembangan institusi ataupun perusahaan tersebut sehingga tercipta citra yang baik dimata pihak intern dan ekstern perusahaan. Dalam hal ini peran public relations sebagaimana pengertiannya menurut J.C. Seidel, “ Public Relation adalah proses kontinu dari usaha-usaha manajemen untuk memperoleh itikad baik dan pengertian dari pelanggan, pegawai, dan publik yang lebih luas: ke dalam mengadakan analisis, ke luar–memberikan pernyataan-pernyataan .” Sangat diperlukan dalam meningkatkan profesionalisme dan produktifitas kerja agar dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap perusahaan. Oleh karena itu diperlukan penge